Tradisi
Bali menandai hari ini, Rabu (6/5) sebagai hari Buda Kliwon Sinta atau
dikenal dengan nama hari raya Pagerwesi. Bagi orang
Bali yang lahir dan bermukim diBuleleng, khususnya seputaran Kota
Singajara, Pagerwesi merupakan hari istimewa. Tidak seperti daerah lain di
Bali, di Kota Singaraja, hari Pagerwesi dirayakan secara istimewa, tak jauh
berbeda dengan perayaan hari raya Galungan. Karena suasana perayaan khusus
Pagerwesi hanya terlihat di Buleleng, Pagerwesi pun sering disebut sebagai Galungannya
orang Buleleng. Gus Ma, seorang warga Kota Singaraja tetapi bekerja di Denpasar menuturkan saat
hari Pagerwesi wajib baginya untuk pulang. "Ini Galungannya orang
Buleleng, ya, harus pulang," kata Gus Ma. Karena dianggap setara
dengan hari Galungan, kesibukan warga Buleleng menyambut hari Pagerwesi tidak
jauh berbeda dengan kesibukan menyongsong hari Galungan. Bahkan, tak sedikit
keluarga Buleleng yang memotong hewan piaraan untuk banten
sodan. Saat Pagerwesi, orang Bali di Buleleng tidak hanya mengadakan persembahyangan
di sanggah/merajan atau
pun di sejumlah kahyangan
jagatdi Buleleng, tetapi yang paling menarik perhatian tentunya tradisi
mempersembahkanbanten
punjung ke kuburan. Tradisi ini dilakoni warga yang memiliki kerabat
yang sudah meninggal dunia dan jazadnya masih berada di liat lahat atau belum
di-aben.
Selesai mempersembahkan banten punjung di atas kuburan, warga Buleleng akan
mengadakan acara santap bersama. Itu sebabnya, sejak pagi hari ini, kuburan di
Buleleng cukup ramai dengan warga. Penyusun kalender Bali yang juga warga Buleleng, I Gede
Marayana menuturkan tradisi perayaan Pagerwesi di Buleleng yang mirip
dengan suasana perayaan hari Galungan memang sudah diwarisi sejak dulu. Bagi
orang Buleleng, menurut Marayana, Pagerwesi merupakan otonan
jagad, sama dengan Galungan. "Galungan dan Pagerwesi itu
sama-sama jatuh saat hari Buda Kliwon," kata Marayana yang sering
memberikan dharma
wacana. Perayaan Pagerwesi, kata Marayana, merupakan rangkaian hari Saraswati. Karena
itu, pemaknaannya tidak bisa dilepaskan dari makna hari Saraswati dalam
kehidupan. Pada hari Saraswati, menurut Marayana, manusia menerima anugerah
ilmu pengetahuan lalu menyelami kedalaman ilmu itu pada hari Banyupinaruh. Ilmu
yang telah diraih itu digunakan sebagai bekal mengarungi kehidupan guna
mendapatkan pangan (Soma Ribek) dan papan (Sabuh Mas). Setelah semua itu
dicapai, kuatkanlah diri selayaknya pagar besi (Pagerwesi) agar bisa mencapai
tujuan hidup yang sesungguhnya.
Namun, Marayana menambahkan, perayaan spesial di hari Pagerwesi tidaklah
terjadi di seluruh Buleleng. Perayaan meriah umumnya terlihat di Kota
Singaraja. Di daerah lain, perayaan Pagerwesi tak berbeda jauh dengan daerah
lain di Bali Selatan, hanya diisi persembahyangan biasa. Memang, kalau dicermati, perayaan meriah Pagerwesi umumnya terlihat di daerah
Buleleng Timur, seperti Kecamatan Buleleng hingga Tejakula. Sementara di
Buleleng Barat, seperti Gerokgak hingga Busungbiu, perayaan Pagerwesi dilakukan
secara sederhana.Ketua Kelompok Pengkajian Bali Utara, I Gusti Ketut Simba, sebagaimana dilansirantarabali beberapa
tahun lalu pernah menjelaskan perbedaan perayaan Pagerwesi antara Buleleng
Timur dan Buleleng Barat karena kedua daerah itu memang memiliki kultur
berbeda, meskipun tidak terlalu kentara. Secara tradisional, wilayah Buleleng
Timur sering disebut Dangin
Enjung, sedangkan wilayah Buleleng Barat kerap disebut Dauh
Enjung. Perbedaan kultur itu, menurut Simba, juga dikarenakan pengaruh dua ajaran yang
dibawa dua dinasti yang berbeda. Wilayah Timur Buleleng mendapat pengaruh
ajaran Siwa Pasupata dari Dinasti Sanjaya dan Sanaha di Jawa Tengah. Wilayah
Buleleng Barat mendapat pengaruh sekte Buda Mahayana yang dibawa dinasti
Warman. Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Bidang Lintas
Iman, I Ketut Wiana mengatakan perayaan Pagerwesi yang meriah di Buleleng Timur
merupakan tradisi lokal. "Kalau tradisi lokal itu biasanya karena berbagai
faktor. Misalnya, pengaruh yang kuat dari tokoh lokal di masa lalu," kata
Wiana. (Baca: Pagerwesi,Hari Guru ala Bali)
Namun, menurut Wiana, tradisi perayaan suatu hari raya yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain dalam agama Hindu merupakan suatu hal yang biasa. Di desa-desa Bali Aga, kata Wina, perayaan Galungan juga tidak semeriah perayaan di desa-desaBali Daratan. Kendati pun berbeda-beda, menurut Wiana, esensi perayaan hari Pagerwesi tetap sama, yakni ungkapan rasa syukur dan terima kasih atas bimbingan Sang Hyang Pramesti Guru sebagai guru alam semesta, guru seluruh umat manusia.
No comments:
Post a Comment