SALAHKAH
MEMUJA LELUHUR ?
Bagaimanakah
para leluhur kita di masa lalu mengajarkan masalah moral, budi pekerti,
keyakinan agama, dan ritual-ritual yang ada? Apakah mereka memberikan dharma
wacana sambil mengutip buku-buku suci? Mungkin tidak, teknik penyampaiannya
pasti sederhana dengan cara bercerita.
Sekarang,
guru atau tokoh agama mengutip kitab-kitab suci dalam melakukan dharma wacana.
Maklum, pendengarnya juga kritis, semua hal yang bersifat anjuran, pantangan,
dan sebagainya, selalu dimintai rujukannya di kitab suci. Begitu pula pendharma
wacana, sebentar-sebentar mengutip sloka suci supaya kelihatan lebih keren.
Orang-orang
di desa begitu polos menjalankan ritual agama dan juga memaknai kehidupan
beragama. Kalau ada piodalan di pura, mereka datang tanpa rumit memikirkan
apakah yang akan mereka puja di pura itu leluhur atau dewa atau Hyang Widhi.
Istilah bethara, dewa, dan Tuhan masih rancu di kalangan orang-orang yang
polos itu. Banyak sekali umat Hindu di pedesaan tak tahu dan tak perlu tahu apa
beda bethara, dewa dan Tuhan. Kalau piodalan di pura ada orang yang kerauhan
(trance) dan orang yang kerauhan itu menyebutkan kelinggihan Ida Bethara tertentu,
umat sulit menjelaskan siapa Ida Bethara tertentu itu. Kalau ada yang bertanya
apakah Ida Bethara itu Tuhan, mereka dengan mudah saja menjawab: ya. Bahkan
orang kerauhan Butha pun juga disebut Tuhan. Jadi, begitu banyak Tuhan.
Ini yang sering sekali membuat orang non-Hindu bingung, kalau jawabannya
seperti itu kenapa agama Hindu masih tegas menyatakan Tuhan itu Esa? Kenapa
Hindu masih menyebut agama monotheisme? Tak heran kalau beberapa buku sejarah
dan sosial menyebutkan Tuhan umat Hindu itu ada banyak.
Di banyak desa di Bali, pemujaan kepada leluhur mendapatkan tempat yang
utama. Barangkali warga di sini tak perlu rumit dan ruwet mendefinisikan soal
leluhur itu. Bagi mereka memuja leluhur sudah cukup untuk membuktikan bahwa
mereka menjalankan ritual agama, tentu saja agama Hindu. Dengan hanya memuja
leluhur, mereka tetap yakin sebagai bagian yang sah dari orang Bali, dan juga
tidak ragu untuk menyebutkan agama mereka, yakni Hindu.
Salahkah mereka yang hanya memuja leluhur? Perlukah kita mencibir
mereka sebagai “terbelakang” atau “kurang paham ajaran agama” atau sebutan
lainnya, yang mengesankan seolah-olah kita lebih tahu masalah agama
dibandingkan mereka? Jangan cepat-cepat melontarkan tuduhan seperti itu.
Tradisi yang mereka pelihara dan mereka pertahankan itu pastilah dulunya
ditanamkan dengan penuh keyakinan oleh leluhur mereka yang paham soal agama.
Kitab suci Bhagawadgita, pada sloka VII-21 mengatakan, “apapun bentuk
kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, Aku perlakukan kepercayaan
mereka sama supaya tetap teguh dan sejahtra”. Sloka ini adalah kelanjutan dari
penjelasan bagaimana jika umat menyelengarakan ritual untuk memuja dewata. Di
sini jelas disebutkan bahwa perbedaan dalam melakukan pemujaan itu hasilnya
sama saja menuju Aku (Tuhan Yang Esa).
Pada sloka IX-25 disebutkan. “Yang memuja dewata pergi kepada dewata, kepada
leluhur perginya yang memuja leluhur mereka, dan kepada roh alam perginya yang
memuja roh alam, tetapi mereka yang memuja-Ku, datang kepada-Ku.”
Ketiga bentuk pemujaan ini, baik kepada dewa-dewa, leluhur, maupun roh suci
yang ada di alam, semuanya mendapatkan pahala. Semuanya bisa dibenarkan, namun
Krisna mengajarkan jika umat memuja Tuhan secara langsung, itulah yang
terbaik.
“Yang terbaik” tidak harus diartikan itulah jalan satu-satunya. Apalagi
diartikan itu jalan yang paling benar, sementara yang lainnya salah. Dalam
kepercayaan Hindu, seseorang yang telah meninggal dunia, rohnya (atman)
menyatu dengan Tuhan. Bukan seperti kepercayaan agama lain, “berada di sisi
Tuhan”. Karena roh atau atman menyatu dengan Tuhan, mereka yang memuja
leluhur otomatis memuja Tuhan juga. Ibarat pepatah, sambil berenang minum air,
sambil memuja leluhur, kita memuja Tuhan.
Dengan pemahaman seperti ini, tradisi pemujaan kepada leluhur bukanlah sesuatu
yang salah. Yang penting adalah kita tahu di mana posisi kita berada dalam
melakukan pemujaan, apakah itu kepada leluhur (bethara), dewa, atau Tuhan.
Leluhur menyatu dengan Tuhan, dewa adalah sinar sucinya Tuhan, jadi sesungguhnya
obyek yang dipuja sama saja.
Masalahnya adalah apakah “memuja leluhur” lewat perantaraan balian, dasaran,
tapakan, atau apapun namanya, juga termasuk dalam jalur “pemujaan kepada
Tuhan?” Ini yang perlu diwaspadai. Dengan segala hormat saya kepada mereka
yang mempercayai balian, dasaran, tapakan dan sebagainya ini, saya berpendapat
ini sudah di luar konteks. Bahkan di luar dari makna sloka Bhagawad Gita yang
saya kutip di atas.
Kita tidak tahu, sejauh mana tingkat kerohanian dan tingkat spiritual mereka
yang disebut balian, dasaran, tapakan itu. Kita sulit membuktikan apakah omongan
mereka, meski pun setelah dinyatakan kerauhan, bisa dipegang untuk dijadikan
pedoman. Misalnya, ada tradisi, ketika baru punya anak, menanyakan langsung
ke balian (ada menyebutnya nunasang ke baas pipis) siapa yang numadi
(reinkarnasi). Balian pasti menyebutkan tak jauh-jauh, mungkin kakeknya,
eyangnya, neneknya, atau siapa pun yang sudah meninggal dunia. Dengan mempercayai
hal ini, keluarga itu akan mematut-matutkan anak yang baru lahir itu dengan
sifat orang yang numadi. Ini berbahaya karena karakter anak akan terpengaruh
oleh apa yang sudah diyakini oleh keluarga itu. Jadi, mari kita rasional
termasuk jangan terlalu percaya kalau leluhur sering memberi kutukan atau
leluhur suka minta macam-macam.
sumber :
No comments:
Post a Comment